Profesi Pengacara dalam Pandangan Islam

         Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya, dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut. Jika hak orang yang dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah. Contoh: seorang pengemban dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah, kemudian ditangkap dan dipenjara, maka dengan tegas Islam menyatakan orang tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari penjara, karena kebebasan untuk menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib.
        Contoh lain  lagi, ada orang yang menjual rumahnya kepada seseorang, dengan pembayaran di muka, sisanya dicicil. Si pembeli rumah tersebut membayar sebagian, sementara sisanya tidak dibayar, alias mangkir. Pada saat yang sama, rumah tersebut telah dibeli dan ditempati. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hak penjual dari pembeli rumah tersebut harus dibayar. Karena itu, jika ada pengacara yang membela si penjual agar bisa mengambil haknya yang tidak dibayar oleh si pembeli tersebut, maka hukum pembelaan tersebut dibolehkan. Sebab, hak-hak tersebut merupakan hak yang telah ditetapkan oleh syariah sebagai hak pemiliknya, sehingga profesi dan tindakan pengacara yang membela pihak yang dizalimi agar haknya kembali kepada dirinya adalah tindakan yang dibenarkan oleh syariah.
        Namun, jika hak tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh hukum atau perundang-undangan buatan manusia, bukan hukum dan perundang-undangan syariah, maka profesi dan tidakan pengacara yang membela hak seperti ini tidak dibolehkan. Sebagai contoh, ada seorang investor yang berinvestasi pada PT atau Koperasi yang jelas akadnya batil, kemudian pada saat pembagian deviden, orang tersebut merasa bagiannya kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan, maka jika seorang pengacara membela hak seperti ini, profesi dan tindakannya dalam kasus ini tidak dibolehkan. Sebab, hak tersebut pada dasarnya bukan merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah, karena PT atau Koperasi tersebut, termasuk devidennya, merupakan perseroan yang batil, tidak diakui oleh syariah, dan harus ditinggalkan oleh seorang Muslim.
        Contoh lain, ada nasabah yang menyimpan dananya di bank ribawi, dengan kadar bunga tertentu. Namun, ketika bank memberikan bagiannya, dia hitung ternyata kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan. Dalam kasus seperti ini, hukum pembelaan yang diberikan oleh pengacara agar hak nasabah tersebut bisa diambil, jelas tidak dibenarkan.
        Selain itu, pekerjaan sebagai hakim, jaksa, Qadhi adalah pekerjaan yang sangat berat dan beresiko dalam Islam, Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam– memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam mengemban amanat itu, renungkanlah sabda beliau:

القضاة ثلاثة واحد في الجنة واثنان في النار. فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضى به ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار [رواه أبو داود واللفظ له (3573) والترمذي (1322) وابن ماجه (2315) وصححه الألباني]

“Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya. Sedang Qadhi yang tahu kebenaran lalu zhalim dalam keputusannya, maka ia di neraka. Begitu pula, Qadhi yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, di-shahih-kan oleh Al Albani).
.

من ولي القضاء أو جعل قاضيا بين الناس فقد ذبح بغير سكين [رواه أبوداود (3571) والترمذي واللفظ له (1325) وابن ماجه (2308), قال الألباني: حسن صحيح]

“Barangsiapa dijadikan sebagai qadhi (penentu keputusan) diantara manusia, maka sungguh ia telah disembelih dengan tanpa menggunakan pisau (benda tajam)” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Al Albani mengatakan: ‘Hasan Shahih’).
Maksud kedua hadits ini adalah peringatan kepada umat islam agar ekstra hati-hati dalam mengemban amanat sebagai qadhi, bukan melarangnya sama sekali. Karena bagaimana pun juga qadhi (hakim) harus ada, untuk memberikan keputusan terhadap urusan manusia, berdasarkan aturan syariat Islam yang lengkap dan sempurna.
Kedua: Pekerjaan sebagai hakim (Qadhi) di negara yang tidak menerapkan syariat Islam, tidak dibolehkan oleh syariat, karena alasan berikut ini:
1. Wajibnya seorang muslim berhukum dengan Syariat Islam dalam memutuskan perkara, sebagaimana firman-Nya:
       وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Apapun yang kalian perselisihkan, maka hukumnya (dikembalikan) pada Allah” (QS. Asy-Syura:10)

      فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan (Sunnah) Rasul-Nya, jika benar kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir” (QS. An-Nisa’:59)
Bahkan seluruh ulama’ Islam telah sepakat (Ijma’), kufurnya orang yang berhukum dengan selain syariat islam, jika disertai keyakinan bolehnya melakukan itu, padahal ia tahu ayat dan hadits yang melarangnya. (lihat Fatawa Lajnah Da’imah, no:1329)
2. Dipastikan ia akan berhukum dengan selain syariat islam, padahal Allah telah berfirman:
(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)… (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ)… (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)
“Barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang fasiq” (QS. Al-Ma’idah: 47)… “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang zhalim” (QS. Al-Ma’idah: 45)… “Dan barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44) (yakni kufur asghar, yang tidak mengeluarkan seseorang dari Agama Islam, jika ia masih berkeyakinan wajibnya berhukum dengan syariat islam, lihat lebih lanjut: Tafsir Ibnu Katsir, 3/119)

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah Hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?! Siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari Allah, bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?!” (QS. Al-Ma’idah: 50)

Karena pekerjaannya haram, maka gaji yang didapat pun jadi haram, wallahu a’lam.
Ketiga: Insya Allah masih banyak pekerjaan lain yang mudah, halal, dan menghasilkan. Tapi jika terpaksa harus berkecimpung dengan dunia hukum, maka yang lebih aman dan selamat adalah posisi pengacara, asalkan ia membela yang benar dan menuntut yang salah menurut Islam.
Komisi tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa Saudi Arabia, yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Adapun pengacara di negara yang memberlakukan UU buatan manusia yang bertentangan dengan syariat islam, maka:
1. Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, -padahal ia tahu akan kesalahan itu- dengan memanfaatkan UU buatan manusia yang ada, maka ia kafir jika meyakini bolehnya hal itu atau menutup mata meski bertentangan dengan Alquran dan Assunnah. Sehingga gaji yang diambilnya pun haram.
2. Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, padahal ia tahu kesalahan itu, tapi ia masih meyakini bahwa tidakannnya itu haram, dan ia mau membelanya karena ingin mendapatkan bayaran darinya, maka ia telah melakukan dosa besar, dan bayaran itu tidak halal baginya.
3. Adapun jika ia membela orang yang ia pandang di pihak yang benar sesuai dengan dalil-dalil syariat, maka amalnya berpahala, salahnya diampuni, dan berhak mendapat bayaran dari pembelaan itu.
4. Begitu pula jika ia menuntut hak untuk saudaranya yang ia pandang berhak memilikinya, maka ia dapat pahala, dan berhak dengan bayaran sesuai kesepakatan yang ada” (Fatwa Lajnah Da’imah, fatwa no: 1329)
Intinya, jika suami anda menjadi seorang pengacara, maka hendaklah ia memilih kasus orang yang berada pada posisi Iyang benar menurut Syariat Islam, lalu berusaha membelanya. InsyaAllah dengan begitu, ia mendapat pahala dunia dan akhirat.
Keempat: Nafkah yang anda dapatkan dari suami yang bekerja sebagai Hakim Pengadilan Negeri insyaAllah tetap halal, karena anda mendapatkannya dari cara yang halal, yaitu dari pemberian suami. Jadi dalam kasus seperti ini, gaji itu haram untuk suami, tapi ketika diberikan kepada anda, harta itu berubah menjadi halal.
Dalil dari pengambilan hukum ini adalah: Kaidah fikih yang berbunyi, “Pergantian sebab kepemilikan, itu seperti pergantian benda itu sendiri“. Jadi gaji suami anda itu haram bagi dia, karena sebab kepemilikannya berhukum dengan selain Syariat Islam, tapi halal ketika sampai ke tangan anda, karena sebab kepemilikannya hak nafkah seorang isteri. Mengapa demikian, karena dengan berubahnya sebab kepemilikan, benda itu dianggap telah berubah sama sekali, dan karena benda itu telah berubah, maka hukumnya pun jadi berubah.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi kita yang berprofesi dalam dunia hukum.

Sumber: http://www.assalammadani.or.id/2016/09/pandangan-islam-mengenai-pekerjaan.html
Konten adalah milik dan hak cipta www.assalammadani.or.id

Share this...
Share on Facebook
Facebook